BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Mewaris
memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab mewaris pada jaman
Arab jahiliyah sebelum islam datang membagi harta warisan kepada orang
laki-laki dewasa sedangkan kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak
mendapatkan bagian.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan permasalahan yang
ada tujuan dan kegunaan untuk
memupuk kesadaran dan pola pikir mahasiswa agar dapat mengerti masalah mewaris
dan waris keluarga atau orang lain agar dapat membantu di kehidupan seseorang sesuai dengan ajaran Agamanya
masing-masing dalam pembahasan ini Agama Islam contonya.
1.3 Manfaat
1. kita lebih mengenal dan Mewaris dalam arti sebenarnya
1. kita lebih mengenal dan Mewaris dalam arti sebenarnya
2. kita akan lebih paham,
dan lebih hati-hati dalam masalah waris mewaris agar tidak melenceng dari
ajaran agama islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Mawaris
Mawaris
ialah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara pembagian harta waris.
Mawaris disebut juga faraidh karena mempelajari bagian-bagian penerimaan yang
sudah ditentukan sehingga ahli waris tidak boleh mengambil harta waris melebihi
ketentuan.
Sebab-sebab seseorang menerima hartawarisan, menurut Islam
ialah sebagai berikut:
1. Adanya pertalian darah dengan yang
meninggal(mayat) baik pertalian ke bawah ataupun ke atas.
2. Hubungan pernikahan, yaitu suami
atau isteri.
3. Adanya pertalian agama.Contoh jika
seorang hidup sebatang kara, lalu meninggal maka harta waris masuk baitul maal
Sebab-sebab seseorang tidak mendapat harta waris ialah
sebagai berikut:
a. Hamba(budak) ia tidak cakap memiliki
sebagaimana firman Allah swt.
b. Pembunuh, orang yang membunuh tidak
dapat mewarisi harta dari yang dibunuh. Sabda Rasulullah SAW.Artinya: ”Yang
membunuh tidak dapat mewarisi sesuatu dari yang dibunuhnya”(H.R. Nasai)
c. Murtad dan kafir, orang yang keluar
dari Islam, yaitu antara pewaris atau yang mati, murtad salah satunya.
Syarat berlakunya pewarisan ada tiga:
a. Adanya yang meninggal dunia, baik
secara hakiki atau hukmi.
b. Adanya harta warisan.
c. Tidak penghalang untuk menerima
harta warisan.
2.2 Syarat-syarat mewaris
Menurut hukum islam , masalah waris mewarisi akan
terjadi apabila di penuhinya syarat- syarat mewarisi. Adapun
syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
a.
Meninggal
dunianya muwarrits (pewaris)
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi
seseorang baru disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia.
Adapun kematian muwarrits dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a. Mati haqiqy (mati sejati)
Yaitu hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya yang dapat di
buktikan dengan panca indra atau dapat
di buktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim)
Yaitu kematian yang disebabkan adanya vonnis dari hakim,
walaupun pada hakikatnya ada kemungkinan seseorang tersebut masih hidup atau
dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Contoh vonis kematian seseorang,
padahal ada kemungkinan orang tersebut masih hidup ialah vonis kematian terhadap
mafqud yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal
domisilinya dan tidak pula diketahui hidup atau matinya.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan)
Yaitu kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa
orang yang bersangkutan telah mati. contohnya kematian seorang bayi yang baru
dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya. Kematian
tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat saja, sebab kematian
tersebut bisa juga di sebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
b.
Hidupnya
warits (ahli waris)
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits
meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta
peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris. Oleh karena
itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul
hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
c.
Mengetahui
status kewarisan.
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal
dunia,haruslah jelas hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri,
hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya. sehingga seorang hakim dapat
menerapkan hukum sesuai dengan semestinya. Dalam pembagian harta warisan itu
berbeda-beda sesuai dengan jihat warisan dan status derajat kekerabatannya.
Dengan demikian, tidak cukup kita berkata : “sesungguhnya orang itu termasuk
saudara orang yang mati”, tetapi harus di ketahui juga apakah ia saudara
sekandung, saudara seayah atau seibu, karena masing- masing saudara tersebut
mempunyai bagian tersendiri, sebagian mereka ada yang mendapatkan waris sebagai
ash-habul furudl, ada yang sebagian golongan ashabah dan sebagian lagi ada yang
mahjub (tidak mendapatkan warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih
berhak)
2.3 Ahli Waris
Secara
keseluruhan ahli waris yang mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, yang terdiri
dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
a.
Pihak laki-laki :
1).
Anak laki-laki
2).
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3).
Ayah
4).
Kakek dari pihak ayah
5).
Saudara laki-laki sekandung
6).
Saudara laki-laki seayah
7).
Saudara laki-laki seibu
8)..
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( keponakan)
9).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10).
Saudara laki-laki ayah yang sekandung ( paman )
11).
Saudara laki-laki ayah se ayah
12).
Anak lai-laki saudara ayah yang laki-laki sekandung
13).
Anak laki-laki saudara ayah yang laki-laki seayah
14).
Suami
15).
Lali-laki yang memerdekakan budak.
Jika
lima belas orang tersebut di atas masih ada semuanya, yang diprioritaskan ada
tiga , yaitu ;
1).
Ayah,
2)
Anak laki-laki
3)
Suami.
b.
Pihak Perempuan :
1)
Anak perempuan
2)
Cucu perempuan dari anak laki-laki
3)
Ibu
4)
Nenek dari pihak ayah
5)
Nenenk diri pihak ibu
6)
Saudara perempuan sekandung
7)
Saudara perempuan seayah
8)
Saudara perempuan seibu
9)
Istri
10)
Perempuan yang memerdekakan budak
Jika
Sepuluh orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan ada lima yaitu :
1).
Istri
2).
Anak perempuan
3).
Cucu perempuan dari anak laki-laki
4).
Saudara perempuan sekandung
Jika
dua 25 orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan adalah sebagai perikut :
1).
Ibu
2).
Ayah
3).
Anak laki-laki
4).
Anak perempuan
5).
Suami atau istri
5.
Pembagian Ahli Waris.
A.
Ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (Furudhul Muqoddaroh)
Bagian-bagian
waris yang telah ditentukan oleh Al Qur’an adalah : 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3,
1/6.
Ahli waris yang mendapatkan 1/2 adalah :
a).
Anak perempuan, apa bila sendirian tidak bersama saudara.
b).
Saudara perempuan tungal yang sekandung
c).
Cucu perempuan, jika tidak ada anak perempuan
d).
Suami, Jika tidak ada anak atau cucu.
Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/4. yaitu
:
a).
Suami, jika ada anak atau cucu
b).
Istri, jika tidak ada anak atau cucu.
Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 adalah
;
Istri,
jika suami meninggalkan anak atau cucu.
Ahli waris yang mendapatkan bagian 2/3 adalah
:
a).
Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b).
Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak
perempuan.
c).
Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung
d).
Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika tidak ada saudara
perempuan yang sekandung.
Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/3 adalah
:
a).
Ibu, apabila yang meniggal tidak meninggalka anak atau cucu dari anak laki-laki
dan tidak ada saudara.
b).
Dua orang saudara atau lebih, dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun
perempuan.
Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6 adalah
:
a).
Ibu, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau
saudara lebih dari satu.
b).
Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
c).
Nenek, jika yang meninggal sudah tidak ada Ibu
d).
Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, jika
bersama anak perempuan.
B.
Ahli waris ashobah
Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang memperoleh bagian
berdasarkan sisa harta pusaka setelah dibagikan ahli waris yang lain. Ahli
waris ashobah dapat menghabiskan semua sisa harta pusaka. Ashobah dibagi
menjadi tiga yaitu :
1.
Ashobah binafsih, yaitu ahli waris yang mejadi ashobah dengan sendirinya, yaitu
:
a).
Anak laki-laki
b).
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c).
Ayah
d).
Kakek dari pihak ayah
e).
Saudara laki-laki sekandung
f).
Saudara laki-laki seayah
g).
Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
i).
Paman sekandung dari ayah
j).
Panan seayah dari ayah
k).
Anak laki-laki sekandung dari ayah
l).
Anak laki-laki paman seayah dari ayah
Contoh
perhitungan waris .
Pak
Yumnu meninggal dunia, Ia meninggalkan ahli waris , seorang istri, Ibu, Ayah,
satu anak laki-laki, dua anak perempuan dan tiga orang saudara laki-laki. Harta
peninggalannya Rp. 12. 400.000,-, hutang sebelum meninggal Rp. 100.000,-,
wasiat Rp. 100.000,- dan biaya perawatan jenazah Rp. 200.000,- . Berapa bagian
masing-masing?
Jawab
:
Harta
peninggalan Rp. 14.400.000,-
Kewajiban
yang dikeluarkan :
1.
Hutang Rp. 100.000,-
2.
Wasiyat Rp. 100.000,-
3.
Biaya perawatan Rp. 200.000,-
Jumlah
Rp. 400.000,-
Harta
waris Rp. 14.400 – Rp. 400.000 = Rp. 12.000.000,-
Ahli
waris :
1.
Istri = 1/8
2.
Ibu = 1/6
3.
Ayah = 1/6
4.
Anak Laki-laki = Ashobah binafsih
5.
Anak perempuan = Ashobah bil ghoiri
6.
Saudara laki-laki = mahjub
a.
Istri 1/8 =3/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 1500.000,-
b.
Ayah 1/6 =4/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 2.000.000,-
c.
Ibu 1/6 =4/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 2.000.000,-
Jumlah
=Rp. 5.500.000,-
Sisa
=Rp. 12.000.000 – Rp. 5.500.000,- =Rp. 6.500.000,-
Anak
laki-laki = 2:1 = 2/3 x 6.500.000,- =Rp. 4.333.000
Anak
perempuan 1/3 x 6.500.000 =Rp. 2.166.000
2.5 Baitul Maal
A. Pengertian Baitul Maal
Menurut bahasa, Baitul Maal memiliki
arti Baitul, artinya rumah atau bangunan dan Maal artinya harta. Dapat
dikatakan Baitul Maal adalah rumah untuk menyimpan harta.
Sesuai dengan namanya, Baitul Maal digunakan sebagai tempat untuk menyimpan
harta-harta pendapatan kaum muslim pada zaman dulu.
Baitul Maal mulanya didirikan pertama kali oleh Rasulullah sebagai upaya
untuk menampung dan mengelola harta kaum muslim yang didapat dari zakat, dan
lain sebagainya. Jadi, Baitul Maal ini didirikan Rasulullah setelah beliau
memerintahkan kaum Muslim non muslim untuk membayar zakat dan infak. Terlebih
lagi setelah kaum muslim memenangkan peperangan dari kaum non-muslim. Bertambah
lagi pendapatan kaum muslim dari pajak tanah atas kaum non-muslim (kharaj). Selanjutnya, Baitul Maal dikembangkan
oleh kaum-kaum muslim hingga saat ini.
B. Sejarah
Baitul Maal
Berikut adalah sejarah perkembangan Baitul Maal dari zaman Rasulullah SAW
hingga pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidun:
1. Baitul Maal masa Rasulullah SAW
Dalam negara Islam, kekuasaan dipandang
sebagai amanah yang harus dilaksanakan sesuai perintah Al-Quran. Hal ini telah
dipraktekkan Rasulullah SAW. Beliau tidak menganggap dirinya seorang raja atau
pemerintahan tetapi sebagai orang yang diberi amanah untuk mengatur negara.
Pada masa kepemimpinannya, Rasulullah memperkenalkan konsep baru di bidang
keuangan negara pada abad ke 7, yaitu semua hasil pendapatan negara harus
dikumpulkan dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai kebutuhan negara. Status
harta yang dikumpulkan adalah milik negara bukan individu. Para pemimpin negara
memperoleh hak untuk menggunakan harta tersebut namun hanya dalam batas-batas
tertentu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tempat pengumpulan itulah yang
disebut Baitul Maal. Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Maal terletak di
masjid Nabawi yang ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara dan tempat
tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan
negara tidak disimpan di baitul Maal, tetapi ditempatkan sesuai dengan alamnya.
C. Penggunaan
Dana Baitul Maal
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa eksistensi Baitul Maal cukup tinggi
dari zaman Rasulullah SAW hingga masa pemerintahan berikutnya dan juga hingga
saat ini. Eksistensi Baitul Maal sangat membantu para muslim dalam pengelolaan
harta yang diterima oleh kaum muslim. Semasa Rasulullah, dana Baitul Maal
digunakan dan didistribusikan sepenuhnya untuk kepentingan kaum muslim kala itu.
Namun terdapat perbedaan pengelolaan pada masa khalifah Umar bin Khattab. Umar
tidak menggunakan seluruh dana Baitul Maal, tetapi sebagian dana tersebut
disimpan di Baitul Maal sebagai dana cadangan. Meskipun demikian, penggunaan
dana Baitul Maal pada prinsipnya sama untuk memenuhi kebutuhan kaum muslim.
Berikut rincian penggunaan dana Baitul Maal, yaitu:
1. Penggunaan dana untuk penyebaran Islam
Pada masa Khalifah Rasululllah SAW, seiring dengan semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam, beliau selalu menunjuk perwakilannya untuk pergi ke
wilayah-wilayah yang telah kaum muslim taklukan sebelumnya. Setiap kaum muslim
menang dalam peperangan, para utusan nabi hijrah ke tempat-tempat tersebut
untuk mengajarkan penduduk di sana tentang Islam dan Al-Quran. Awalnya, mereka
pergi ke tempat-tempat tersebut menggunakan dana dan tunggangan kuda sendiri.
Sampai akhirnya semakin luas daerah kekuasaan Islam, semakin jauh jaraknya dari
Mekkah dan dana Baitul Maal semakin terkumpul banyak dari pemasukan-pemasukan
pajak tanah dan lain sebagainya, akhirnya utusan Nabi yang bertugas ke
tempat-tempat yang jauh dibiayai oleh dana Baitul Maal dan diberi tunggangan
kuda. Jadi, dapat dikatakan bahwa salah satu penggunaan dana Baitul Maal adalah
sebagai biaya untuk perjalanan dakwah menyebarkan agama Islam
2. Gerakan Pendidikan dan Kebudayaan
Pada masa Khalifah Rasulullah, beliau sangat memperhatikan pendidikan kaum
muslim. Beliau mengajarkan kaum muslim membaca dan menulis. Lalu, beliau
menunjuk beberapa utusan untuk mengajarkan umat lain.Selain itu,
tawanan-tawanan perang diperintahkan Rasulullah untuk mengajarkan kaum muslim
membaca dan menulis agar mereka dapat dibebaskan. Dana Baitul Maal digunakan
untuk membiayai perjalanan utusan-utusannye tersebut dalam mengajarkan membaca
dan menulis.
Selain itu, dana Baitul Maal juga digunakan untuk membeli senjata-senjata
perang, pakaian perang, kuda tunggangan yang pada awalnya Rasulullah meminjam
semuanya itu kepada umat lain pada saat perang karena keterbatasan dana. Namun
setelah kaum muslim memenangkan peperangan dan mendapatkan harta rampasan
perang yang selanjutnya dikumpulkan di Baitul Maal, kaum muslim akhirnya dapat
membeli perlengkapan perang sendiri.
3. Penyediaan Layanan Kesejahteraan Sosial
Seperti yang kita tahu, dana Baitul Maal didapatkan dari zakat, kharaj,
ghanimah, jizyah, khums, dan lain sebagainya. Dana-dana tersebut digunakan para
khalifah untuk mensejahterakan rakyat, salah satunya adalah untuk mengatasi
masalah kelaparan kaum fakir miskin.
Setiap sumber dana tersebut digunakan untuk hal-hal tertentu, misalnya
zakat digunakan untuk:
- Menyantuni fakir miskin
- Menampung tuna wisma
- Membayar gaji para pengumpul zakat
- Melunasi utang-utang yang tidak mampu membayarnya
- Menolong orang-orang yang baru masuk Islam
- Membebaskan budak
- Melaksanakan aktivitas pekerjaan umum
2.4
Mashlahat Mawaris
Maslahat secara etimologi berasal dari kata shalah,
yang berarti manfaat. Setiap sesuatu yang memberikan manfaat secara langsung
atau melalui perantara, dapat disebut maslahat. Menurut para ahli ushul,
manfaat (utility) itu bisa diperoleh melalui dua kategori, yaitu jalbu
almashalih upaya untuk menghasilkan maslahat) dan dar’u al-mafasid yang
berarti menolak bahaya atau kerusakan.
Menurut Imam Syatibi, maslahat bisa dipandang valid dalam syariah (mu'tabarah) selama ia tidak bertentangan dengan maqaasid syarii’ah yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Salah satu argumen yang memperkuat pendapat Imam Syatibi ini ialah satu kaidah yang menyatakan bahwa syariat Allah diturunkan demi kemaslahatan umat manusia. Kaidah ini memberikan suatu pengertian bahwa semua hukum yang telah ditetapkan oleh syariat mempunyai nilai maslahat. Maslahat dalam kaitan ini sudah barang tentu bukan maslahah mutlaq yang memasukkan pengertian maslahat menurut filosof, sebab maslahat menurut versi mereka hanya terbatas pada dimensi material dan cenderung bersifat duniawi .
Menurut Imam Syatibi, maslahat bisa dipandang valid dalam syariah (mu'tabarah) selama ia tidak bertentangan dengan maqaasid syarii’ah yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Salah satu argumen yang memperkuat pendapat Imam Syatibi ini ialah satu kaidah yang menyatakan bahwa syariat Allah diturunkan demi kemaslahatan umat manusia. Kaidah ini memberikan suatu pengertian bahwa semua hukum yang telah ditetapkan oleh syariat mempunyai nilai maslahat. Maslahat dalam kaitan ini sudah barang tentu bukan maslahah mutlaq yang memasukkan pengertian maslahat menurut filosof, sebab maslahat menurut versi mereka hanya terbatas pada dimensi material dan cenderung bersifat duniawi .
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Semua
orang muslim wajib mempelajari ilmu mawaris, Ilmu mawaris sangat penting dalam
kehidupan manusia khususnya dalam keluarga, karena tidak semua orang yang
ditinggal mati oleh seseorang akan mendapatkan warisan.
Hal yang perlu diperhatikan
apabila kita orang muslim mengetahui pertalian darah, hak dan pembagiannya
apabila mendapatkan warisan dari orang tua maupun orang lain.
3.2. Saran
bagi para
pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami mawaris dalam
kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama islam dimana
hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø muwafiq.co.cc,asetsukses.com,nyumbangkaya.com,mahasanjufri.tk
Ø belajarwaris.blogspot.com, Blog
Studi Islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar